Sabtu, 04 Juni 2011

Infeksi yang menyertai Kehamilan dan Persalinan Pada Ibu Hamil Read more: Infeksi yang menyertai Kehamilan dan Persalinan Pada Ibu Hamil | Smart Click

Infeksi yang menyertai Kehamilan dan Persalinan Pada Ibu Hamil

1.SYPHILIS
(Infeksi yang menyertai Kehamilan dan Persalinan Pada Ibu Hamil) – Infeksi syphilis (lues) yang disebabkan oleh Treponema pallidum, baik yang sudah lama maupun yang baru diderita oleh ibu dapat ditularkan kepada janin.  Syphilis kongenita merupakan bentuk penyakit syphilis yang terberat.  Infeksi pada janin dapat terjadi setiap saat dalam kehamilan, dengan derajat risiko infeksi yang tergantung jumlah spiroketa (treponema) di dalam darah ibu.
Sudah diketahui secara umum bahwa syphilis mempunyai pengaruh buruk pada janin: dapat menyebabkan kematian janin, partus immaturus, dan partus prematurus.  Dalam hal demikian dapat dijumpai gejala-gejala syphilis kongenita, diantaranya pemfigus syfilitikus, deskwamasi pada telapak kaki dan tangan, serta rhagade di kanan-kiri mulut.  Pada persalinan tampak janin atau plasenta yang hidropik.
Syphilis harus diobati segera setelah diagnosis dibuat, tanpa memandang tuanya kehamilan.  Lebih dini dalam kehamilan pengobatan diberikan, lebih baik prognosis bagi janin.  Syphilis primer yang tidak diobati dengan adekuat, 25% akan menjadi syphilis sekunder dalam waktu 4 tahun.
Sebelum zaman antibiotika, syphilis diobati dengan neoarsphenamine (Salvarsan) dan bismuth.  Sekarang pengobatan syphilis dalam kehamilan dilakukan dengan penicillin, dan apabila penderita tidak tahan (alergi) penicillin, dapat diberikan secara desensitiasi.  Eritromisin tidak dianjurkan karena besar kemungkinan akan gagal untuk mengobati infeksi pada janin.
Untuk syphilis primer, sekunder, dan laten dini (kurang dari 1 tahun) dianjurkan mendapat Benzathine penicillin G dengan dosis 2,4 juta satuan IM sekali suntik (separuh di kanan dan separuh di kiri).  Untuk syphilis lama (late syphilis) diperlukan dosis yang lebih tinggi: 7,2 juta satuan (total) dibagi dalam 3 dosis masing-masing 2,4 juta satuam IM perminggu dalam 3 minggu.
Dosis tunggal penicilline di atas umumnya sudah cukup untuk melindungi janin dari penderitaan syphilis.  Abortus atau kematian janin selama atau tidak lama setelah pengobatan biasanya tidak disebabkan karena gagalnya pengobatan, tetapi karena pengobatan terlambat diberikan.  Suami juga harus diperiksa darahnya dan bila perlu diobati.  Bila ragu, darah tali pusat juga diperiksa.  Follow up bulanan melalui pemeriksaan serologik perlu dilakukan sehingga bila perlu pengobatan ulang dapat segera diberikan.
Untuk lues kongenita pada neonatus dianjurkan pengobatan sebagai nerikut: 100.000-150.000 satuan/kg BB aquaeous crystalline penicilline G perhari (diberikan 50.000 satuan/kg BB secara IV setiap 8-12 jam) atau 50.000 satuan/kg BB Procainpenicillin perhari diberikan 1x IM selama 10-14 hari.
Bayi yang lahir dari ibu dengan syphilis boleh tetap mendapat ASI.  Bila ibu tersebut masih menderita lesi pada kulit, kontak dengan bayinya harus dihindari.
2.VARICELLA (CACAR AIR/CHICKEN POX)
Varicella merupakan penyakit anak-anak dan sangat jarang dijumpai dalam kehamilan dan nifas.  Walaupun umumnya cacar air itu suatu penyakit ringan, namun pada wanita hamil kadang-kadang bisa menjadi berat dan dapat menyebabkan partus prematurus.  Disangka bahwa telah terjadi penularan intra uterin apabila gelambung-gelambung timbul dalam 10 hari setelah kelahiran.  Frekuensi cacar bawaan tidak lebih tinggi pada para bayi yang lahir dari ibu yang menderita cacar air dalam masa hamil.
3.INFEKSI TRAKTUS URINARIUS
Infeksi saluran kencingnadalah infeksi bakteri yang paling sering dijumpai pada kehamilan. Walaupun bakteri uria asimtomatik merupakan hal biasa, infeksi simtomatik dapat mengenai salran bawah yang menyebabkan sisititis, atau menyerang kaliks, pelvis, dan parenkim ginjal sehingga mengakibatkan pielonefritis.
Organisme yang emnyebabkan infeksi saluran kemih berasal dari flora normal perineum. Sekarang terdapat bukti bahwa beberapa galur escherichia coli memiliki pili yang meningkatkan virulensinya. Walaupun kehamilan itu sendiri tampaknya tidak meningkatkan faktor0faktor virulensi ini, stasis air kemih tampaknya menyebabkan hal itu, dan bersam dengan revluksvesikoureter, stasis mempermudah timbulnya gejala infeksi saluran kemih bagian atas.
Overdistsnsi yang disertai kateterisasi untuk mengeluarkan iar kemih sering menyebabkan infeksi saluran kemih.
a.Bakteriuria Asimtomatik
kondisi ini mengacu pada perkembangan bakteri yang terus-menerus secara aktif di dalamsaluran kemih tampa menimbulkan gejala. Insiden selama kehamilan bergantung pada paritas, ras dan status social ekonomi
bakteri uria biasanya sudah ada pada saat kunjungan pra natal I dan setelah biakan urin awal yang negatif, wanita yang mengalami infeksi saluran kemih jumlahnya 1 % atau kurang.
Makna
Apabila bakteri uriaasimtomatik tidak diobati sekitar 25 % pasien akan mengalami infeksi simtomatik akut selam kehamilan tersebut. Eradikasi bakteri uria dengan anti mikroba telah dibuktikan dapat mencegah sebagian besar infeksi klinis tersebut. Pada beberapa penelitian, bakteri uria yang tersamar dilaporkan menyebabkan sejumlah efek merugikan pada kehamilan. P-ada penelitian-penelitian awal oleh kass (1962), insiden kelahiran preterm dan mortalitas prenatal meningkat pada wanita dengan bakteri uria yang mendapat plasedo dibandingkan dengan yang mendapat terapi. Dari  bukti-bukti yang sekarang ada kecil kemungkinan bahwa bakteri uria asimtomatik merupakan factor utama untuk bayi pre term atau BBLR.
Pada banyak diantara wanita ini bacteria uria menetap setelah melahirkan, dan pada sebagian juga menujukan bukti-bukti radiografik adanya infeksi kronik, lesi obstruktif atau kelainan congenital saluran kemih. Infeksi simtomatik sering berulang sering terjadi.
Therapi
Wanita dengan bakteri uria asimtomatik dapat diberi pengobatan dengan salah satu dari bebrapa regimen anti mikroba. Pemilihan dapat didasarkan pada sensitifitas infitro, tetapi mumumnya dilakukan secara empiris. Terapi selam 10 hari dengan makrokristal nitrovurantoin 100 mg/hari terbukti untuk sebagian besar wanita.Regimen lain adalah amphicilin, amoksisilin, chefalosporin, nitrofurantoin, atau sulfonamide 4 X sehari selam 3 hari. Terapi anti mikroba dosis tunggal untuk bakteri uria juga pernah dilaporkan pernah berhasil. Kegagalanregimen dosis tunggal mungkin merupakan petunjuk adanya infeksi saluran bagian atas dan perlunya terapi yang lebih lama, misalnya nitrovurantoin 100 mg sebelum tidur selam 21 hari. Bagi wanita dengan bakteri uria yang menetap atau sering kambuh mungkin diidikasikan terpai supresif sepanjang sisa kehamilannya. Salah saturegimen yang telah terbukti berhasil adalah nitrovurntoin 11 mg sebelum tidur
b.Sistitis Dan Uretritis
Biasanya sistitis di tandai oleh disuria, urgensi dan frekuensi. Biasanya ditemukan bakteri uria dan piuria. Hematuriamikroskopik sering terjadi dan kadang-kadang terjadi hematuria makroskopik akibat sistitis haemoragik, walaupun sistitis biasanya tidak berpenyulit, saluran kemih bagian atas dapat terkena akibat infeksi asenden.
Therapi
Wanita dengan sistitis cepat berespon dengan salah satu beberapa regimen. Haris dan gilstrat (1981) melaporkan angka kesembuhan 97 % pada regimen amphicilin 10 hari. Sulfonamide, mitrofurantoin atau sevalosporin juga efektif apabila diberikan selama 10 hari. Terapi dosis tunggal yang digunakan untuk bakteri uria asimtomatik terbukti efektif untuk wanita hamil maupun tidak hamil, tetapi sebelumnya harus dipastikan tidak ada pielonefritis.
c.Pielonefritis Akut
Infeksi ginjal merupakan penyulit medis paling serius pada kehamilan, terjadi pada sekitar 2 % wanita hamil. Keseriusan pielonefritis akut selam kehamilan digaris bawahi sebagai penyebab utama syok septic selama kehamilan.
Infeksi ginjal lebih sering terjadi setelah pertengahan kehamilan, pada lebih dari separuh kasus penyakitnya unilateral dan di sisi kanan, sedangkan pada ¼ bilateral. Pada sebagian besar wanita, infeksi disebabkan oleh bakteri yang naik dari saluran kemih bawah. Antara 75-90 % infeksi ginjal disebabkan oleh bakteri yang meimiliki adehesin fimbriae-P.
Gambaran Klinis
Awitan pielonefritis biasanya agak mendadak. Gejala meliputi demam, menggigil hebat, dan nyeri tumpul di salah satu atau kedua regio lumbal. Pasien mungkin mengalami anoreksia, mual dan muntah. Perjalanan penyakit dapat sangat bervariasi dengan demam sampai setenggi 40 ?C atau lebih dan hipotermia sampai 34?C. rasa nyeri biasanya dapat ditimbulkan dengan perkusi disalah satu atau kedua sudut costovertebra. Sedimen urin sering mengandung banyak leukosit, seringkali dalam gumpalan-gumpalan dan banyak bakteri.
Walaupun diagnosis biasanya mudah, pielonefritis dapat disangka sebagai proses persalinan, koriamnionitis, appendicitis, solusio plasenta, atau infark myoma, dan masa nifas disangka sebagai metritis dengan selulitis panggul.
Kreatinin plasma harus diukur pada awal terapi. Pielonefritis akut pada sebagian wanita hamil menyebabkan penurunan bermakna laju filtrasi glomerulus yang bersifat reversible. Wanita dengan pielonefritis ante partum mengalami insufisiensi pernafasan dengan derajat bervariasi akibat cidera alveolus dan edema paru yang dipicu oleh endotoksin. Pada sebagian wanita cidera parunya parah sehingga menimbulkan syndrome gawat nafas akut.
Graham dkk (1983) memastikan bahwa pemberian terapi antimikroba pada wanita ini diikuti oleh peningkatan aktifitas uterus. Hal ini mungkin disebabkan oleh pelepasan endotoksin. Hemolisis akibat endotoksin juga sering terjadi, dan sekitar 1/3 dari wanita ini mengalami anemia akut.
Penatalaksanaan
Hidrasi intra vena agar produksi urin memadai merupakan hal yang esensial. Keluaran urin, tekanan darah dan suhu dipantau secara ketat. Demam tinggi harus diatasi, biasanya dnegan selimut pendingin.
Infeksi saluran kemih yang serius ini biasanya cepat berespon terhadap hidrasi intravenal dan terapi antimikroba. Pemilihan obat bersifat empiris; ampicilin, plus gentamicin, cevazolin atau ceftriakson terbukti 95 % efektif dalan uji-uji klinis acak. Resistensi E. Coli terhadap anphicilin sering terjadi dan hanya separuh hanya strain yang ada masih sensitive. Invitro terhadap apmhicilin, tetapi senagian besar masih sensitive terhadap cevasolin. Karena itu banyak dokter cenderung menberikan genthamicin atau aminoglikosida lain bersama dengan amphicilin. Apabila pasien mendapat oab-obat neotoksik perlu dilakukan pengukuran kreatinin serum secara serial. Akhirnya sebagian penulis cenderung menggunakan suatu sefaloskorin atau phenicilin dengan spectrum diperluas.
Gejala klinis umumnya reda dalam 2 hari setelah terapi; tetapi walaupun gejala cepat menghilang banyak penulis menganjurkan agar terapi dilanjutkan hingga 7-10 hari. Apabila biakan urin selanjutnya memberikan hasil positif diberikan nitrofurantoin 100 mg sebelum tidur selam sisa kehamilan.
Penatalaksanaan Rawat Jalan
Dilaporkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna dalam respon klinis atau hasil kehamilan antara pasien rawat inap dan rawat jalan. Semua wanita dalam uji ini mendapat dua dosis ceftriakson IM 1 gr di RS dengan selang 24 jam sebelum mereka yang dimasukan kekelompok rawat jalan diperbolehkan pulang. Dalam hal ini diperlukan evaluasi ketat sebelum dan setelah pemulangan dari RS.
Penatalaksaan Bagi Mereka Yang Tidak Berespon
Apabila perbaikan klinis belum tampak jelas dalam 48-72 jam, wanita tersebut perlu pemeriksaan obstruksi saluran kemih, untuk mecari ada tidaknya dipensi abnormal pada ureter atau pielokaliks.
Pemasangan doble-J steent diureter akan mengatasi obstruksi pada sebagian besar kasus. Apabila gagal dilakukan nefrostomi perkutanium. Apabila gagal juga perlu dilakukan pengeluaran batu ginjal secara bedah agar infeksi reda.
Tindak Lanjut
Bila tidak dilakukan tindakan-tindakan untuk menjamin sterilitas urin, pasien sebaiknya diberi nitrovurantoin 100 mg sebelum tidur sampai selesai hamil.
d.Pielonefritis Kronik
penyakit ini adalah suatu nefritis interstisial kronik yang diperkirakan disebabkan oleh infeksi bakteri. Pada banyak kasus, terjadi pembentukan jaringan parut klasik yang terdeteksi secara radiologis dan disertai refluks ureter selagi berkemih; oleh karenanya penyakit ini juga disebut sebagai nefropatirefluks. Pada kasus lanjut, yang muncul adalah gejala insufisiensi ginjal. Patogenesis penyakit ini masih belum jelas tetapi tampaknya bukan hanya disebabkan oleh infeksi bakteri persisten.
Prognosis pada ibu dan janin bergantung pada luas kerusakan ginjal. Gangguan fungsi ginjal dan pembentkan jaringan parut ginjal bilateral berkaitan dengan peningkatan penyulit pada ibu, apabila pielonefritit kronik lainnya mengalami penyulit bakteri uria selama kehamilan, dapat terjadi pielonefritit akut yang akan memperparah keadaan. Hampir seluruh wanita dengan pembentukan jaringan parut ginjal akibat infeksi saluran kemih pada masa kanak-kanak akan mengalami bakteri uria saat hamil (Martinel dkk , 1990).
4.HEPATITIS
Hepatitis infeksiosa disebabkan oleh virus dan merupakan penyakit hati yang paling sering dijumpai dalam kehamilan.  Pada wanita hamil, pemyebab hepatitis infeksiosa terutama oleh virus hepatitis B.  walaupun kemingkinan juga dapat karena virus hepatitis A atau Hepatitis C.  hepatitis virus dapat terjadi pula setiap satt kehamilan dan mempunyai pengaruh buruk pada janin maupun ibunya.  Pada trimester I dapat terjadi keguguran, akan tetapi jarang dijumpai kelainan congenital (anomaly pada janin).  Sedangkan pada trimester II dan III sering terjadi premature.  Tidak dianjurka untuk melakukan terminasi kehamilan dengna induksi atau SC, karena akan mempertinggi risiko pada ibu.  Pada hepatitis B janin kemungkinan dapat tertular melalui plasenta, waktu lahir, atau masa neonatus; walaupun masih masih kontroversi penularan melalui air susu.
Penatalaksanaan
1.Istirahat, diberi nutrisi dan cairan yang cukup, bila perlu IV
2.Isolasi cairan lambung dalam atau cairan badan lainnya dan ingatkan tentang pentingnya janin dipisahkan dengan ibunya
3.Periksa HbsAg
4.Kontrol kadar bilirubun, serum glutamic oksaloasetik transaminase (SGOT), serum glutamic piruvic transaminase (SGPT), factor pembekuan darah, karena kemungkinan telah ada disseminated intravaskular coagulapathy (DIC)
5.Cegah penggunaan obat-obat yang bersifat hepatotoksik
6.Pada ibu yang HbsAg positif perlu diperiksa HbsAg anak karena kemungkinan terjadi penularan melalui darah tali pusat
7.Tindakan operasi seperti SC akan memperburuk prognosis ibu
8.Pada bayi yang baru dilahirkan dalam 2×24 jam diberi suntikan anti hepatitis serum
5.HIV/AIDS
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kehamilan dapat memperberat kondisi klinik wanita dengan infeksi HIV.  Sebaliknya, risiko tentang hasil kehamilan pada penderita infeksi HIV masih merupakan tanda tanya.  Transmisi vertical virus AIDS dari ibu kepada janinnya telah banyak terbukti, akan tetapi belum jelas diketahui kapan transmisi perinatal tersebut terjadi.  Penelitian di AS dab Eropa menunjukkan bahwa risiko transmisi perinatal pada ibu hamil adalah 20-40%.  Transmisi dapat terjadi melalui plasenta, perlukaan dalam proses persalinan, atau melalui ASI.  Walaupun demikian, WHO menganjurkan agar ibu dengna HIV positif  tetap menyusui bayinya mengingat manfaat ASI yang cukup besar dibandingkan dengan risiko penularan HIV.
Bila telah terdiagnosis adanya AIDS perlu dilakukan pemeriksaan apakah ada infeksi PHS lainnya, sepeerti gonorrhea, chlamydia, hepatitis, herpes, ataupun infeksi toksoplasmik, CMV, TBC dan lain-lain.
Penderita AIDS mempunyai gejal awal yang tidak spesifik seperti fatique, anoreksia, BB menurun, atau mungkin menderita candidiasis orofaring maupun vagina.  Kematian pada ibu hamil dengan HIV positif kebanyakan disebabkan oleh penyakit oportunisyik yang menyetainya, terutama pneumocystis carinii pneumonia.
Sampai saat ini belum ada pengobatan AIDS yang memuaskan.  Pemberian AZT (Zidovudine) dapat memperlambat kematian dan menurunkan frekuensi serta beratnya infeksi oportunistik.  Pengobatan infeksi HIV dan penyakit oportunisyiknya dalam kehamilan merupakan masalah, karena banyak obat belum diketahui dampak buruknya dalam kehamilan.  Dengan demikian, pencegahan menjadi sangat penting peranannya, yaitu hubungan seksual yang sehat, menggunakan alat kontrasepsi, dan mengadakan tes terhadap HIV sebelum kehamilan.
Dalam persalinan, SC bukan merupakan indikasi untuk menurunkan risiko infeksi pada bayi yang dilahirkan.  Penularan kepada penolong persalinan dapat terjadi dengan rate 0-1% pertahun exposure.  Oleh karena itu dianjurkan untuk melaksanakan upaya pencegahan terhadap penularan infeksi bagi petugas kamar bersalin sebagai berikut:
1.Gunakan pakaian, sarung tangan dan masker yang kedap air dalam menolong persalinan
2.Gunakan sarung tangan saat menolong bayi
3.Cucilah tangan setelah selesai menolong penderita AIDS
4.Gunakan pelindung mata (kacamata)
5.Peganglah plasenta dengan sarung tangan dan beri label sebagai barang infeksius
6.Jangan menggunakan penghisap lendir bayi melalui mulut
7.Bila dicurigai adanya kontaminasi, lakukan konseling dan periksa antibody terhadap HIV serta dapatkan AZT sebagai profilaksis
Perawatan pascapersalinan perlu diperhatikan yaitu kemungkinan penularan melalui pembalut wanita, lochea, luka episiotomi ataupun luka SC.  Untuk perawatan bayi, sebaiknya dilakukan oleh dokter anak yang khusus untuk menangani kasus ini.  Perawatan ibu dan bayi tidak perlu dipisah, harus diusahakan agar pada bayi tidak dilakukan tindakan yang membuat perlukaan bila tidak perlu betul, misalnya jangan lakukan sirkumsisi.  Perawatan tali pusat harus dijalankan dengan cermat.  Imunisasi yang menggunakan virus hidup sebaiknya ditunda sampai terbukti bahwa bayi tersebut tidak menderita virus HIV.  Antibodi yang didapatkan pasif dari ibu akan dapat bertahan sampai 15 bulan.  Jadi diperlukan pemeriksaan ulang berkala untuk menentukan adanya perubahan ke arah negatif atau tidak.  Infeksi pada bayi mungkin baru tampak pada usia 12-18 bulan.
6.TYPUS ABDOMINALIS
Typus abdominalis dalam kehamilan, dan nifas menunjukan angka kematian yang lebih tinggi dari pada di luar kehamilan. Penyakit ini mempunyai pengaruh buruk terhadap kehamilan. Dalam 60-80 % hasil konsepsi keluar secara spontan : lebih dini terjadinya infeksi dalam kehamilan, lebih besar kemungkinan berakhirnya kehamilan.
Pengobatan dengan kloramfenikol atau tiamfenikol (Urfamycin) biasanya cukup manjur. Waktu ada wabah, semua wanita hamil perlu diberi vaksinasi. Walaupun kuman-kuman tufus abdominalis tidak di keluarkan melalui air susu, namun sebaiknya penderita tidak menyusui bayinya karena keadaan umum ibu biasanya tidak mengizinkan, dan karena kemungkinan penuluaran oleh ibu melalui jalan lain tetap ada. Tifus abdominalis tidak merupakan indikasi bagi abortus buatan.
7.TOXOPLASMOSIS
a. Temuan klinis
Toxoplasmosis adalah penyakit infeksi yang disebsbkan oleh toxoplasma gondii.
Ibu dengan toxoplasma gondii biasanya tidak menampakan gejala walaupun 10%-20% ibu yang terinfeksi didapatkan adanya iymphadenopathy. Infeksi dapat ditemukan pada sindrom mononucleosislike dengan adanya kelelahan dan lesu, jarang terjadi pada encephalitis.
BBL dengan menderita toxoplasma congenital terinfeksi saat berada di dalam uterus secara transplacental. Choriuretinitis merupakan manifestasi klinis yang serinng muncul apada BBL sebagai gejala toxoplasma. Berikut adalah temuan-temuan yang didapatkan pada bayi dengan infeksi toxoplasma congenital: chorioretinitis, hydrocephalus, penyakit kuning, hepatosplenomegali, mikrosefali, glaucoma, kejang, demam, hipotermi, limpadenopati, mual, diare, katarak, mikroftalmia, syaraf mata atrofi, pneumonia.

b. Penularan
1) Kucing
Organisme tempat toxoplasma gondii hidup adalah kucing. Sekitar ½ dari beberapa kucing yang diuji mempunyai antibody toxoplasma. Ini berarti bahwa kucing tersebut terinfeksi karena memakan hewan pengerat dan burung pemakan daging yang terinfeksi. Satu minggu setelah terinfeksi, kucing mengeluarkan oocyst yang terdapat pada fesesnya. Pengeluaran oocyst terus menerus sampai sekitar 2 minggu sebelum kucing itu sembuh atau pulih kembali. Hewan ini mudah terinfeksi lagi dan dapat mengeluarkan oocyst ketika terinfeksi oleh organisme lain.
Feses kucing sudah sangat infeksius. Oocyst dalam feses menyebar melalui udara dan ketika dihirup akan dapat menyebabkan infeksi. Sporulasi organisme ini terjadi setelah 1-5 hari dalam kotoran dan dapat dicegah dengan pembuangan sampat setiap hari. Jika oocyst terkandung dalam tanah sisa-sisa partikel berada di atasnya dan akan terbawa arus air hujan. Sisa oocyst dapat bertahan hidup sampai lebih dari 1 tahun tetapi tidak aktif dalam keadaan beku, kekeringan, panas lebih dari 50 C atau terkontak dengan ammonia, biodin atau formalin.
2) Daging
Wabah “christiaan barand” adalah contoh penularan toxoplasma melalui daging. Konsumsi daging yang terinfeksi adalah penyebab utama toxoplasma di Eropa, dimana dibatasinya penggunaan lemari pendingin dan biasanya daging tidak dibekukan. Seharusnya daging dimasak pada suhu yang tinggi untuk mecegah terjadinya penularan toxoplasma

c. Diagnosis
1) Ibu
Diagnosa klinis toxoplasma akut tidak dapat dipercaya apabila tidak ditemukan tanda yang spesifik berkaitan dengan infeksi. Namun demikian toxoplasma akut harus dipertimbangkan pada setiap wanita hamil dengan limfa denopati, utamanya meliputi rahim posterior, dan atau gejala mononucleosisslike.
Diagnosa utama infeksi toxoplasma selama kehamilan adalah meliputi salah satu dari hal berikut:
• Menunjukan hasil yang positif pada uji yang dilakukan
• Terjadi peningkatan antibody yang diperoleh dari serum ibu pada dua kali pemeriksaan yang berbeda, atau
• Terdeteksi antibody IgM toxoplasma
Pada usia remaja dengan infeksi primer jarang terjadi perkembangan antibody IgG dan IgM. Antibody IgG spesifik toxoplasma berkembang dalam waktu 2 minggu setelah terinfeksi dan berlangsung selamanya. Perkembangan antibody IgM spesifi toxsoplasm terjadi dalam 10 hari setelah terinfeksi dan meningkat 6 bulan sampai > 7 tahun.
The enzyme linked immunosorbent assay (Uji Elisa) asay test untuk melihat tingginya perkembangan antibody IgM dapat bertahan sampai beberapa tahun. UJI IVA (Indairec immaunofluorescence Antibody Test untuk IgM toxoplasma spesifik biasanya menunjukan kadar yang tinggi pada 6 bulan setelah terinfeksi, berikutnya titer akan menurun. Uji IVA lebih bermanfaat dari uji Elisa dalam membedakan infeksi adanya primer pada wanita hamil.
2) Anak
Gejala klinis pada bayi baru lahir akan dapat ditemukan seperti pada temuan diatas. Gejala klinik yang paling banyak ditemukan adalah chorioretinitis, penyakit kuning, demam, dan hepatosplenomegali. Adanya IgM toxoplasma spesifik pada bayi baru lahir memperjelas diagnosa infeksi congenital. Adanya kista toxoplasma gondii pada pemerikaan histology plasenta juga mendukung kuat diagnosa infeksi pada bayi.
3) Diagnosa prenatal
Mendiagnosa toxoplasma pada kehamilan dipercaya dengan cairan amnion atau darah janin yang dapat didiagnosa dengan amniosentesis atau cordosentesis.
IgM spesifik toxoplasma jika didapatkan pada darah janin dari cordosentesis dapat pula digunakan untuk mendiagnosa infeksi janin namun sayangnya antibody IgM janin sedikit berekembang sampai umur kehamilan 21 sampai 24 minggu.

d. Penatalaksanaan dan pencegahan
1) Ibu
Prognosa pada infeksi yang akut baik, kecuali pada keadaan imonosekresi yang amat besar. Wanta hamil dengan infeksi akut dapat dirawat dengan kombinasi pyrimethamine, asam folimik dan sulfonamide. Dosis standar pyrimethamine adalah 25 mg/hari/oral dan 1 gr sulfadiazine peroral 4 X/hari selam 1 tahun. Pyrimethamine adalah musuh dari asam folik dan oleh karena itu mungkinmemberikan efek teratogenik jika diberikan pada trimester I. Asam folimik diberikan dengan dosis 6 mg secara IM atau per oral setiap pada hari yang berbeda untuk mengetahui apakah benar habisnya asam folat disebsbkan oleh Pyrimethamine.
Spiramycin adalah ejen lainyang digunakan pada pengobatan toxoplasma akut dan dapat diperoleh pada pusat pengontrolan penyakit di USA, ini biasa digunakan di Eropa dan karenanya tidak ada pengawasan yang baik terhadap kemanjuran obat ini
2) Janin
Adanya gejala infeksi pada bayi lahir harus ditangani dengan pemberian pyrimethamine dengan dosis 1 mg/kg/hr/oral selam 34 hari, dilanjutkan dosis 0,5 mg/kg/hr selam 21-30 hari dan sulfadiazine dengan dosis 20 mg/kg per oral selam 1 tahun. Pada saat menginjak remaja diberikan asam folimik 2-6 mg secara IM atau oral 3 X seminggu walaupun pada saat bayi dia mendapatkan pyrimethamine. Infeksi congenital pada bayi baru lahir bukan merupakan infeksius, oleh karena itu tidak perlu diisolasi. Bayi baru lahir yang tiak menunjukan infeksi dan positif antibody IgG toxoplasma spesifiknya mungkin didapatkan dari ibunya secara transplasetal. Pada bayi yang Tidak ditemukannya temuan yang lain yang mencurigakan terjadinya infeksi congenital., harus dipantau, apabila tidak terinfeksi harus menunjukan adanya penurunan titer antibody IgG terhadap toxoplasma.
8. RUBELLA
Rubella dapat meningkatkan angka kematian perinatal dan sering menyebabkan cacat bawaan pada janin. Sering dijumpai apabila infeksi dijumpai pada kehamilan trimester I (30-50%). Anggota tubuh anak yang bisa menderita karena rubella:
a. Mata (katarak, glaucoma, mikroftalmia)
b. Jantung (Duktus arteriosus persisten, stenosis pulmonalis, septum terbuka)
c. Alat pendengaran (tuli)
d. Susunan syaraf pusat (meningoensefalitis, kebodohan)
Dapat pula terjadi hambatan pertumbuhan intra uterin, kelainan hematologik (termasuk trombositopenia dan anemia), hepatosplenomegalia dan ikterus, pneumonitis interstisialis kronika difusa, dan kelainan kromosom. Selain itu bayi dengan rubella bawaan selama beberapa bulan merupakan sumber ibfeksi bagi anak-anak dan orang dewasa lain.

Diagnosis
Diagnosis rubella tidak selalu mudah karena gejala-gejala kliniknya hampir sama dengan penyakit lain, kadang tidak jelas atau tidak ada sama sekali. Virus pada rubella sering mencapai dan merusak embrio dan fetus. Diagnosis pasti dapat dibuat dengan isolasi virus atau dengan dotemukannya kenaikan titer anti rubella dalam serum.
Nilai titer antibody
• Imunitas 1:10 atau lebih
• Imunitas rendah < 1:10
• Indikasi adanya infeksi saat ini  1:64

Apabila wanita hamil dalam trimester I menderita viremia, maka abortus buatan perlu dipertimbangkan. Setelah trimester I, kemungkinan cacat bawaan menjadi kurang yaitu 6,8% dalam trimester II dan 5,3% dalam trimester III.
Tanda dan Gejala klinis:
• Demam-ringan
• Merasa mengantuk
• Sakit tenggorok
• Kemerahan sampai merah terang atau pucat, menyebar secara cepat dari wajah ke seluruh tubuh, kemudian menghilang secara cepat
• Kelenjar leher membengkak
• Durasi 3-5 hari
Hingga kini tidak ada obat-obatna yang dapat mencegah viremia pada orang yang tidak kebal.. manfaat gamaglobulin dap\lam hal ini masih diragukan, yang lebih manjur ialah vaksin rubella. Akan tetapi, vaksinasi ini sering menimbulkan artralgia atau arthritis, dan pula vaksinasi yang dilakukan tidak lama sebelum terjadinya kehamilan atau dalam kehamilan dapat menyebabkan infeksi janin. Karena itu, lebih baik vaksinasi diberikan sebelum perkawinan. Pemberian vaksin pada wanita selam kunjungan prekonsepsi dianjurkan untuk uji serologi varicella apabila klien selama masa kanak-kanaknya tidak mempunyai riwayat infeksi, kontraindikasi pada kehamilan adalah menghindari konsepsi selama 3 bulan setelah vaksinasi.
9. CMV (CITOMEGALO VIRUS)
Infeksi primer CMV dapat terjadi dengan frekuensi 1-2%. Infeksi congenital kekerapannya adalah 1-2% dari kehamilan. Walaupun jarang, 10-15% anak yang mwngalami infeksi congenital akan mengalami cacat bawaan. Bila infeksi terjadi pada trimester I atau awal trimester kedua dapat timbul keadaan hydrocephalus, mikrocephalus, mikroftalmia, hernia, gangguan pendengaran, retardasi mental dan mungkin ditemukan kalsifikasi serebral. Bila infeksi terjadi pada bulan-bulan terakhir kehamilan dapat dijumpai hepatosplenomegali, trombositopeni, purpura, korioretinitis, dan pneumonitis. Selain melalui plasenta, infeksi dapat sampai ke BBL melalui kontak virus dari serrvik, ASI, faring, dan urin ibu yang melahirkannya. Transfusi darah juga dapat menularkan infeksi CMV. Infeksi yang terjadi setelah lahir ini akan menampilkan gejala pneumonia, hepatosplenomegali dan sepsis yang tarjadi pada bulan pertama kehidupannya.
Diagnosis pada ibu ditegaskan melalui pemeriksaan serologik (biasanya dengan cara ELISA), karena klinis tidak menunjukkan gejala yang khas. Virus biasanya dapat diisolasi dalam pembiakan jaringan. Hingga kini tidak dikenal pengobatan yang manjur bagi penyakit ini bagi ibu maupun neonatus. Kesulitan lain ialah bahwa infeksi CMV pada ibu biasanya tidak menimbulkan gejala dan sering tidak diketahui. Bila diketahui terdapat gejala infeksi, maka dapat diberi pengobatan simptomatik dan istirahat. Ibu dengan status imunitas yang rendah dan infeksi yang berat perlu diberi obat antivirus.